Minggu, 20 Desember 2009

Rapsodi Hati Si Leta

Muhammad Tauhed Supratman, S.Pd.


Kuterima goresan hatimu dan kubaca kalimat demi kalimat sehingga tiada tersisa secuil kata pun. Begitu indah susun kata dan rangkai kalimat itu, sehingga membuat diriku terpana. Setelah kunikmati dan kukaji dalam-dalam susun kata dan rangkai kalimat itu, barulah aku sadar dan mengerti siapa diri ini sebenarnya. Emas tak setara dengan loyang, benang tak sebangsa dengan sutra, begitulah ratap iba ahli syair. Memang, aku adalah seorang anak manusia papa, papa segala-galanya. Akulah, “esebbhit tada’ monyina, eobbhar tada’ bauna”.¬¬¬¬¬1 ¬¬¬Dan aku tiada habis pikir, sejak kecil aku dalam keadaan papa dan leta. Entah sampai kapan kepapaan itu akan setia menemani diriku! Hanya Allah yang Maha Tahu!
Aku senantiasa berucap syukur Alhamdulillah, karena dalam keletaan diri, Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan anugrah tiada tara, menanamkan rasa cinta padamu di relung hatiku yang paling dalam. Cintaku padamu bukanlah mencintai tubuhmu dan kemolekan bentuk badanmu, tetapi jiwakulah yang mencintai jiwamu. Cintaku padamu, bukanlah cinta dukana! Kecintanku padamu bukan karena kau orang bermartabat di mata masyarakat! Bukan karena jas safari dan sepatumu. Bukan karena semua itu! Aku mencintaimu karena budimu; di dalam matamu kulihat suatu lukisan hati yang suci dan bersih. Sungguh, dengan penuh kesasadaran, dan harapan semoga kau semakin tidak memahami diriku, aku sering berpuisi:
Hai permata hati,
Namamu terukir
Dalam catatan harianku
Perangaimu selalu hadir
Dalam diskusi kehidupanku
Rona wajahmu terlukis
Dalam sketsa mimpi-mimpiku
Merdu suaramu terekam
Dalam pita batinku
Kau hidup dan mengaliri
Pori-pori cinta dan semangatku
Dalam doa
Semoga kaulah hadiah agung
dari Allah untukku
Pujaan hatiku2

Anugerah “cinta padamu” telah lama tumbuh subur dalam relung hatiku, tiga tahun yang silam. Waktu itu, aku khawatir, jika kucurahkan perasaan cinta padamu, maka tiada bedanya dengan seseorang yang mencurahkan segelas air tawar ke dalam lautan yang maha luas; laut tak akan berubah sifatnya karena segelas air tawar itu.3 Apa hendak dikata, kekhawatiran itu kini telah menjadi nyata. Akal yang selama ini tertetup dengan apa yang bisa diraba dan dirasakan, yang kukira itu kenyataan, ternyata semua itu hanyalah fatamurgana dan kamoflase belaka. Kukira kau mawar, ternyata kau sekuntum edelweis yang hanya tumbuh di puncak ancala. Kuduga kau kasatmata, kucapai dengan meraba, nyatanya kau maya, datang menyapaku bagai pewana4, dan sesekali kau datang dan pergi bagai kabut, sehingga hatiku selalu mengigau:
aku sadar, hadirmu dalam patahan hidupku
seperti gerimis membasah tanah gersang
ingatanku bercengkrama denganmu
di padang kerontang
perasaanku sebisu karang
melukis fajar
membelai senja
jadi nyanyian ombak: di mana angin
pernah menyejukkan

gelap malam cahayamu membentang
langkahku tertatih
hasratku tak sempat kaubaca
karena kau tak mengundangku
asaku melesat menikam burung-burung

di senja nurani februari yang rapuh
kutulis segala yang membentang di pelupuk mata:
jas safari, dasi, sepatu lusuh, sandal jepit
mungkin kau pernah merenung, mengimpikan
kebahagian abadi, igaumu
mematahkan kelopak mawar
---karena persemaian yang usang

senyummu meruncing di ujung gerimis
resahmu segalau ombak
tertegun, menatap bayang
karena tak sempat lagi berucap
pada malam resahku yang kesekian
tawamu jauh mengalun
mengalun di detak awan
kau tawarkan dan segera melenggang
seperti penari di atas panggung

Walaupun demikian, cintaku padamu takkan lekang di panas, takkan lapuk di hujan, karena aku sadar bahwa diriku telah menitipkan separuh hatiku padamu! Hanya padamu! Namamu dan rasa cinta padamu, Insya Allah senantiasa tumbuh subur dan abadi sepanjang masa, kubawa sampai ke pekuburan. Maafkan aku! Aku takkan pernah mengakhiri mencintaimu, walaupun kau akan mencaci dan membenci sepanjang hidupmu. Dan biarlah semua orang mencibirku, tak terkecuali dirimu, bahwa diriku seperti Majnun yang hangus terbakar karena cintanya kepada Laila. Biarlah semua itu menjadi sisi terindah dalam sisa hembusan nafasku. Hanya saja perlu kau tanamkan dalam hatimu; bahwa diriku telah kau kubur tanpa nisan di pusara awan. Pintaku padamu, kuburkanlah pula diriku dalam merdu alun senyummu, agar sempurna keletaan dan kepapaan ini! Dan:
biarlah angin terbangkan kagumku
pada mawar pulang
ke rahim dongeng bunga-bunga

kudekap kisah bersama duri dan merahmu
sadar, mabuk wangi
bersemi asa di tajam durimu

kueja merahmu dipeluk taman nestapa
goresan durimu kuak tajam duka
mekar rinduku di percikan merahmu.

di kelopak merahmu akulah bangkai

. Kini diriku hanya bisa berdoa dan berharap, siapa tahu besok atau lusa ada cadas-cadas keras yang rela menerima tetesan embun pagi, sehingga dirinya menjadi berlubang, barulah kata hati si leta terwujud!


Gubuk Bambu, Awal Maret 2006

Catatan:
1. Dikutip dari Parebasan ban Saloka Madura dikumpulkan oleh: Oemar Sastrodiwirjo.
2. Diadaptasi dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman
3. Dikutip dari Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka
4. Dikutip dari Sareang karya M. Faizi